IBADAH SETELAH RAMADHAN
SETELAH RAMADHAN, BERIBADAH
SAMPAI MATI
Segala puji
bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Bulan Ramadhan, sungguh membawa
berbagai berkah. Lihat saja bagaimana di bulan suci tersebut marak sekali
berbagai aktivitas ibadah di berbagai masjid. Mulai dari orang-orang rajin ke
masjid untuk melaksanakan shalat lima waktu dan shalat tarawih. Begitu pula
kegiatan rutin tadarusan setiap malamnya. Ini semua merupakan tanda keberkahan
bulan tersebut. Namun, kadangkala kita saksikan bahwa ibadah-ibadah yang
dilakukan ini hanya musiman. Contohnya saja, shalat lima waktu. Di bulan
Ramadhan, boleh jadi rajin bukan kepalang. Setelah bulan Ramadhan, seakan-akan
tidak ada bekas yang tersisa atau mungkin sudah semakin diremehkan karena
sering bolongnya dalam mengerjakan shalat.
Tulisan ini adalah sebagai penjelas,
apa saja amalan yang bisa kita jaga selepas ramadhan. Sebelumnya kami akan
menjelaskan tentang pentingnya menjaga amalan.
Beribadah
Bukan Musiman
Amal seorang mukmin seharusnya
barulah berakhir ketika ajal datang menjemput. Al Hasan Al Bashri rahimahullah
mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan
ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al
Hasan membaca firman Allah, “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al
yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[1]
Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama
mengatakan bahwa maksud ”al yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian.
Kematian disebut al yaqin karena kematian itu sesuatu yang diyakini
pasti terjadi.
Az Zujaaj mengatakan bahwa makna
ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ulama lainnya mengatakan,
“Sembahlah Allah bukan pada waktu tertentu saja”. Jika memang maksudnya
adalah demikian tentu orang yang melakukan ibadah sekali saja, maka ia sudah
disebut orang yang taat. Namun Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sembahlah Allah sampai datang ajal”. Ini menunjukkan bahwa
ibadah itu diperintahkan selamanya sepanjang hayat.[2]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Dari ayat ini menunjukkan bahwa ibadah seperti shalat dan semacamnya wajib
dilakukan selamanya selama akalnya masih ada. Ia melakukannya sesuai dengan
kondisi yang ia mampu.”[3]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun memerintahkan kita beribadah bukan hanya sesaat, bukan
hanya musiman, bukan hanya di bulan Ramadhan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu
’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda, ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah
amalan yang kontinyu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan
suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [4]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan,
”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam
melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan.
Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin
dilakukan walaupun itu sedikit.”
Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
amalan yang terus menerus dilakukan (kontinyu). Beliau pun melarang memutuskan
amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang
melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[5] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena
meninggalkan amalan shalat malam.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah!
Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan,
”Jika syaithon melihatmu kontinyu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan
menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau
meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon
pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[6]
Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan
manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah
Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba
Rabbaniy yang rajin ibadah disetiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di
bulan Sya’ban saja.
Kami (penulis) juga dapat
mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”[7] Maksudnya, beribadahlah secara
kontinyu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja.
AMALAN
SELEPAS RAMADHAN
Pertama, menjaga shalat lima waktu
Shalat lima waktu sudah kita ketahui
bersama merupakan bagian dari rukun Islam. Artinya shalat tersebut adalah suatu
yang tidak disangsikan lagi wajibnya. Sehingga ancaman orang yang
meninggalkannya pun begitu keras. Lihat saja dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami (muslim) dan mereka (orang
kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.”[8]
‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah
mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
“Tidaklah disebut muslim orang
yang meninggalkan shalat.”[9]
Meninggalkan satu shalat saja bukan
dosa yang sepele. Diterangkan oleh para ulama bahwa meninggalkan satu shalat
saja itu lebih besar dosanya dari dosa zina. Kita dapat melihat
pada perkataan Ibnul Qayyim, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat
(sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja
adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa
membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[10] Dari sini, sudah merupakan
keharusan seorang muslim tetap menjaga shalat lima waktu di bulan Ramadhan dan
setelahnya.
Jika shalat lima waktu ini bisa
terus dijaga, jaminannya adalah surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku
wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa
barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam
surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji
padanya’.”[11]
Kedua, menjaga shalat jama’ah
Bagi pria, tentu saja ia lebih afdhol melaksanakan
shalat jama’ah di masjid. Bahkan menurut pendapat terkuat hukum shalat jama’ah
itu wajib. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu
bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah
dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi
imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian
aku bakar rumah-rumah mereka”.[12]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Adapun shalat jama’ah, aku
tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila
ada udzur.”[13]
Apalagi shalat jama’ah jauh lebih
utama dari shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat jama’ah lebih utama dari
shalat sendirian sebanyak 27 derajat.”[14]
Sedangkan untuk wanita lebih utama
baginya shalat lima waktu di rumah. Bahkan pahala ia shalat di rumah bisa jadi
lebih besar daripada ia ke masjid. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini
adalah hadits dari Ummu Salamah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik masjid bagi para
wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.”[15]
Ketiga, merutinkan puasa sunnah
Puasa sunnah tentu saja adalah
penyempurna puasa wajib. Jika ada kekurangan pada puasa wajib kita di bulan
Ramadhan, kekurangan tersebut bisa ditambal dengan amalan puasa sunnah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali
dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla
berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat
hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna,
maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada
sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki
amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman:
sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.”
Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.”[16]
Hadits ini pertanda bahwa amalan
sunnah (seperti puasa sunnah) bisa menyempurnakan kekurangan yang ada pada
puasa wajib sebagaimana halnya shalat. Oleh karena itu, jika kita merasa ada
kekurangan dalam amalan wajib, maka perbanyaklah amalan sunnah.
Di antara amalan puasa yang bisa
dilakukan selepas ramadhan adalah puasa enam hari di bulan Syawwal. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan
kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun
penuh.”[17]
Selain itu, puasa yang bisa
dirutinkan adalah puasa Senin-Kamis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah)
pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku
sedang berpuasa.”[18]
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”[19]
Minimal setiap bulannya, ada puasa
sebanyak tiga hari. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak
meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2]
mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”[20]
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,
“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.”
Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?”
‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya
semau beliau).”[21]
Namun, hari yang utama untuk
berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal
dengan ayyamul biid.[22] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.”[23]
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ
الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ
وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga
hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan
Hijriyah).”[24]
Keempat, merutinkan shalat malam.
Jika di bulan Ramadhan, kita sudah
terbiasa melakukan shalat tarawih di awal malam. Perlu diketahui bahwa shalat
tarawih adalah istilah yang dimaksudkan untuk shalat malam (shalat tahajjud).
Namun shalat tarawih di bulan Ramadhan dikerjakan di awal malam, sedangkan
shalat tahajjud di luar Ramadhan lebih afdhol dikerjakan di akhir malam. Di
luar ramadhan sudah sepantasnya shalat ini pun tetap dilaksanakan. Karena
ibadah itu bukan musiman. Ibadah terbaik adalah sepanjang hayat.
Lihatlah bagaimana celaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mencela orang yang rutin mengerjakan shalat
malam, namun belakangan ia tinggalkan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata padaku,
“Wahai ‘Abdullah, janganlah
engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun
sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[25]
Penutup
Semoga kita sekalian bisa merutinkan
amalan-amalan sederhana di atas. Tentu saja ini bisa kita rutinkan dengan
taufik dan hidayah Allah. Kita sangat butuh sekali pertolongan-Nya dengan
banyak berdo’a memohon keistiqomahan. Do’a yang bisa kita amalkan sehingga kita
dengan mudah diberikan keistiqomahan oleh Allah adalah sebagai berikut,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit
qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku di atas agama-Mu).”[26]
Dan perlu diingat baik-baik, amalan
terbaik adalah amalan yang membuahkan kebaikan selanjutnya, artinya amalan
tersebut adalah amalan yang kontinyu.
Ibnu Rajab rahimahullah menyampaikan
nasehat yang amat baik, ”Barangsiapa
melakukan dan menyelesaikan suatu ketaatan, maka di antara tanda diterimanya
amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya.
Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan
setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah
sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan
tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan
ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan
setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang
dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum
bertaubat. ... Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga
kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang
terombang-ambing.”[27]
Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan
dalam beramal hingga kematian menjemput. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu
Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi,
Al Maktab Al Islami, 4/423.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu
Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/287.
[4] HR. Muslim no. 783.
[5] Fathul Baari lii Ibni Rajab, Asy
Syamilah, 1/84.
[6] Al Mahjah fii Sayrid Duljah, Ibnu
Rajab, hal. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba’ fii Bayaani Asbaabi Tafadhulil
A’mal, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Daar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1428
H, hal. 86.
[7] Lihat Lathoif Al Ma’arif, 390.
[8] HR. An Nasai no. 463, At Tirmidzi
no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[9] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha,
Ibnul Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1426 H, hal. 41.
[10] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha,
Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 7.
[11] HR. Ibnu Majah no. 1403. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[12] HR. Bukhari no. 644 dan Muslim
no. 651, dari Abu Hurairah.
[13] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha,
hal. 107
[14] HR. Bukhari no. 645 dan Muslim
no. 650
[15] HR. Ahmad 6/297. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya
[16] HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah
no. 1426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] HR. Muslim no. 1164
[18] HR. Tirmidzi no. 747. Shahih
dilihat dari jalur lainnya
[19] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu
Majah no. 1739. Shahih
[20] HR. Bukhari no. 1178
[21] HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu
Majah no. 1709.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[22] Hari ini disebut dengan ayyamul
biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam
itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.
[23] HR. An Nasai no. 2345. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[24] HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai
no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[25] HR. Bukhari no. 1152
[26] HR. Tirmidzi no. 2140. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[27] Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al
Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428, 393.
Comments
Post a Comment